Author : Shin
Eun Mi
Title : I (Just Don’t Know How To Say) Love You. [Yoona’s Side]
Main Cast : Im
Yoona
Lee Donghae
Other Cast : Kwon
Yuri – Kim Jongwoon (Yesung)
Choi
Sooyoung – Shim Changmin
Seo
Joohyun – Cho Kyuhyun
Others.
Genre : Romantic, Oneshot.
Rating : PG-16+
Length : 8,891 words.
Annyeonghaseo yeorobun~ Aku kembali
setelah beberapa lama vakuum karena baru masuk SMA._. Oke, daripada banyak
omong aja nih, mending langsung dibaca yaa~! Mianhae kalo banyak typo dan juga
alurnya kurang dimengerti, maklumlah kan aku masih harus adaptasi lagi setelah
sekian lama tak menulis huehehe;___;
Ok deh, do not bash ya! Kalo tidak
suka pairingnya, kurasa tiap orang punya pendapat sendiri-sendiri tentang
couple yang mereka suka, ada yang suka A sama B, ada yang suka dipair sama C,
yakan? Ya dongs. Aku gabisa maksa untuk suka pairing yang aku suka, tapi sekali
lagi aku mohon hargai karya orang ya
chingu, jangan egois untuk berpendapat dengan bash, kalian pasti ngerti kan
rasanya sakit hati kalo pairing yang kalian suka di bash? Aku juga gitu dan juga setiap orang punya kesukaan
masing-masing, jadi semua wajar menurutku. Lagipula, kalau nge-bash terus,
kapan kita dinilai jadi fans yang baik sama fans-fans satu fandom lainnya?J
Check it out!
SIDERS
GO OUT ;;
I (Just Don’t Know How To Say) Love
You
“Apa kau
percaya adanya keajaiban dari Tuhan?
Percayalah,
Tuhan akan selalu memberikan setiap manusia keajaiban, dengan tingkatan yang
berbeda.”
Sesosok
tubuh tegap, gagah, tampan dan juga menawan. Tak mungkin tidak ada seorangpun gadis
yang menyukai atau mengagumi dirinya. Wajah seperti baby dan tawa khasnya –yang lebar dan riang–, pasti akan langsung
membius para gadis yang berada disekitarnya. Terlebih sifatnya yang humoris dan
easy going, terlihat sangat perfect, kan? Oh iya, apa kalian juga
tahu? Aku pun juga satu dari sekian banyak penggemarnya, mungkin lebih tepatnya
disebut fans. Seluruh gadis
disekolahku –tak terkecuali aku– sangat tergila-gila padanya. Bedanya, ‘mereka’
sangat gempar mendukungnya di depan umum, sementara aku tidak. Aku masih ragu
dan canggung untuk berhisteria seperti orang-orang itu.
Ia sangat
pandai berolahraga, terutama sepak bola. Dan aku pun suka memandanginya dari
balkon sekolahku di lantai tiga. Yap, tempat yang strategis untuk diam-diam
memperhatikannya, apalagi kalau bukan ketika ia sedang bermain sepak bola di
lapangan. Tempat ini sungguh nyaman, juga tak ada yang tahu keberadaanku dari
sini, jadinya aku bisa bebas memandangi wajah lelaki tampan ini. Jam istirahat maupun
pulang sekolah. Kini, aku terkesima menatap dirinya yang tengah mengelap
keringat dengan wajah serius. Tanpa sadar, kedua ujung bibirku terangkat
membentuk lengkungan keatas.
“Yoona-ya.”
Aku menoleh,
saat kudengar suara merdu menyapa telingaku. Suara yang tak asing bagiku. Aku
tersenyum pada sosok gadis bertubuh langsing dengan rambut ikal yang ia ikat
kuda. Ia berdecak, aku yakin ia pasti akan menceramahiku seperti
sebelum-sebelumnya.
“Ada apa,
Yuri Eonnie?”
“Anio, aku heran saja. Kau betah sekali berlama-lama
disini. Kalau kau menyukainya mengapa kau melihatnya hanya dari sini? Jauh dari
pandangannya. Kau benar-benar tak ada keinginan untuk melihatnya dari dekat?”
Aku menghela
nafas panjang. Benarkan? Ini lagi yang diucapkannya. Aku sampai bosan mendengarkan
celotehan Yuri Eonnie. Eh? Kau bertanya-tanya kenapa aku memanggil, Yuri dengan
sebutan Eonnie? Begini, aku lahir di tahun 1990, sementara Yuri Eonnie 1989.
Meski begitu, kami seangkatan. Karena aku dulu bersekolah TK satu tahun lebih
cepat dari anak-anak pada umumnya. Biarpun aku lebih muda darinya, aku selalu
menempati juara umum semenjak aku duduk di bangku SD. Aku juga pandai
berakting, sebab itulah aku sekarang ikut club teater di sekolah dan memenangi
berbagai penghargaan lomba antar sekolah dari ketika aku SMP. Berbeda dengan
Yuri Eonnie yang lebih menyelami dunia menari, maklum, tubuhnya yang langsing
dan kepandaiannya dalam olahraga, mampu membuatnya kuat dan tampak ideal.
Tetapi, untuk soal percintaan, Yuri Eonnie memang handal dan paling expert. Buktinya ia sudah membuat tiga
lelaki patah hati karenanya dalam waktu 2 bulan ini, yang kudengar sih,
sekarang ia sedang menjalin hubungan dengan Yesung Oppa. Alumni sekolah kami.
“Entahlah,
aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Aku pikir untuk begini lebih baik,
melihat tanpa dilihat. Apa aku salah?”
“Menurutku
tidak. Lagipula, penggemar Donghae Oppa memang sangat banyak, Yoong. Jadi wajar
saja. Kalau kau ikut-ikutan dengan orang-orang norak itu, mungkin kau akan
dipandang sebelah mata sama seperti gadis-gadis lain, olehnya.” sahut suara
agak bass dari belakang Yuri Eonnie.
Kami berdua menoleh bersamaan, kulihat dua gadis bertubuh semapai denganku dan
Yuri Eonnie datang.
Itu adalah
Sooyoung, teman satu kelasku dan Yuri Eonnie. Sooyoung bukanlah tipe gadis
feminim, bisa dibilang ia termasuk golongan tomboy. Namun, ia tetap bisa
menjadi gadis remaja pada umumnya, dengan memakai rok atau tank top sekalipun. Hanya saja di waktu-waktu tertentu. Wajahnya juga
cantik dan ia termasuk paling tinggi diantara kami berempat, tetap saja orang
akan beranggapan akulah yang paling cantik.
Goddes of Beauty, itu adalah predikat yang aku dapat
dari teman-teman seangkatanku. Kata mereka dahiku yang lebar dan bersih juga
kedua bola mataku yang cantik membuat berbagai lelaki gemas. Sayangnya.., aku tak memiliki
pengalaman apapun mengenai ‘jalinan asmara’, tidak seperti teman-temanku.
Makanya aku hanya bisa memerhatikan ‘orang itu’ dari jauh saja. Buktinya?
Sooyoung berpacaran dengan Shim Changmin alias Changmin Oppa dari kelas 12-E,
ketua klub basket sekolah ini.
“Itu dia,
Sooyoung-aa. Aku tak tahu harus melakukan apa. Mungkin disini, aku bisa lebih
leluasa melihat Donghae Sunbae ketimbang aku nimbrung dibawah dan malahan tak
bisa melihat dengan bebas. Hehehe.” ucapku menghibur diri.
Ya, lelaki
yang kupuja-puja itu bernama Donghae. Lee Donghae. Kelas 12-A, ia merupakan
seorang model iklan dan juga bintang sepak bola di sekolahku. Donghae Sunbae
juga termasuk orang terpandang, sebab kedua orangtua Donghae Sunbae memiliki
banyak cabang butik dan hotel yang tersebar di daerah Korea Selatan, bahkan
sampai merambah ke Paris katanya. Oleh sebab itu, tak salah banyak gadis bahkan
guru memanggilnya dengan sebutan ‘Pangeran’. Oh ya, aku hampir lupa, Donghae
Sunbae selalu masuk tiga besar peringkat di sekolah dari sejak ia duduk di
bangku SMP. Hebat, kan?
“Kau ini,
Eonnie. Apa gunanya meratap dari sini? Kau kan Goddes of Beauty di sekolah ini. Kenapa harus minder, sih?” kini
gadis dengan rambut cokelat agak ikal memprotes sambil menyeruput susu kotak
yang dibawanya.
“Seohyun-aa,
jangan berlebihan begitu. Meskipun aku cantik seperti bidadari sekalipun,
Donghae Sunbae tidak akan peduli. Kau tahu sendiri sikapnya pada gadis-gadis
bagaimana, bukan?” ucapku membela diri pada sosok Seohyun –gadis paling muda
diantara kami– yang mendumel tidak jelas.
Perlu
diketahui, Donghae Sunbae biarpun digilai gadis-gadis, ia tetap saja bersikap
dingin. Oh iya, aku bilang tadi ia orang yang humoris, bukan? Memang benar,
tetapi hanya kepada orang-orang terdekatnya. Ia menganggap gadis-gadis yang
menggilainya itu hanya sebatas pengganggu saja. Aku terkadang sampai heran,
mengapa bisa aku menyukainya –tidak tidak, mencintainya begini, ya?
“Tapi,
Yoona, kau lihat sendiri kan, Donghae Oppa tidak akan melirik gadis seorang pun.
Aku tak yakin ia adalah laki-laki normal.” sungut Yuri Eonnie, membuat mataku
mendelik padanya.
“Eonnie!”
“He-eh, tapi
ada benarnya juga kau, Yul. Mungkin saja, Donghae Oppa itu gay atau ia seorang psikopat? Hiiy, aku jadi bergidik begini.”
tambah Sooyoung. Aku melotot kesal, mereka ini...
“Eonniedeul, sudahlah, jangan memanasi
Yoona Eonnie. Kasihan dia, sudah kena ejekan terus dipojokkan begini.”
Aku memeluk
Seohyun, magnae kami. Ia paling kecil
diantara kami berempat. Seohyun seharusnya sekarang masih kelas 10, tetapi
otaknya yang cerdas dan melampaui batas, akhirnya ia loncat kelas satu kali dan
akhirnya seangkatan denganku. Hanya saja, aku dan ia berbeda kelas. Ia di kelas
11-B, satu kelas dengan Cho Kyuhyun, sang kekasih yang evil. Lelaki itu juga
merupakan salah satu sohib Donghae Sunbae. Mereka tampaknya akrab sejak lama,
soalnya kemana-mana kulihat mereka selalu tampak berdua –kadang bertiga dengan
Changmin Oppa juga. Lihat? Adik kecilku saja, sudah mendapatkan kekasih.
Sementara aku? Selama 17 tahun, aku belum pernah menjalin cinta dengan
siapapun. Huh. Menyebalkan!
“Gomawoyo, Seohyunnie. Kau memang
terbaik!”
“Ya!
Harusnya kau membantu kami meledeknya, biar jadi motivasi untuk maju dan tidak
hanya disini menanti Mr. Fishy itu datang kemari! Tidak akan kejadian selama
kau tak maju duluan, Yoong-aa! Apa susahnya sih mendekati dia? Kau kan terkenal
ini.” keluh Yuri jengkel.
Aku
tersenyum kecil. Melihat tingkah mereka yang selalu ribut seperti ini dikala
sedang membicarakan Donghae Sunbae, aku bisa maklum. Mereka mengkhawatirkan
aku, ya itu pasti. Akkhirnya akupun menghiraukan perdebatan kecil ketiga
temanku tersebut. Daripada ribut tidak jelas, mending aku menikmati pemandangan
‘indah’ dibawah.
Bola mataku
tertuju kembali pada sosok Lee Donghae yang tengah menggiring bola ke gawang,
dan.. GOL. Haa, siapa juga yang tidak tahu ia. Striker handal, bintang sekolah.
Senyumku semakin melebar saat melihat wajah sumringahnya yang dipeluk
teman-teman segrup-nya. Aku terus menatapnya hingga tanpa sadar, kedua mataku
tak beralih dari sosoknya. Tapi... Tapi... Ia juga menatapku..? Omo! Donghae
Sunbae menatapku? Jinjjayo? Ia
menoleh menghadap ke arah balkon tempat aku berdiam diri membeku.. Apa ia tersenyum?
Benarkah Donghae Sunbae tersenyum ke arah sini? Ke arah diriku? Eottohke, Eomma!
Aku
memalingkan wajahku yang panas dan semburat merah menyerbu kedua pipiku. Aku
menangkupnya dan menggeleng-geleng tidak percaya. Tatapan mata tajamnya yang
terasa meneduhkan itu. Itulah yang kusukai darinya. Sikapnya yang misterius,
selalu ingin kubongkar dan aku pecahkan. Apa benar, ya? Babo, Im Yoona! Ia tidak tahu siapa kau, bagaimana ia bisa
tersenyum padamu? Halusinasi, itu pasti halusinasimu saja.
“Ya! Yoona,
ada apa sih denganmu? Kau setuju kan, kalau aku yang paling...,” aku tak dengar
Yuri Eonnie berbicara sama sekali, mianhae
Eonnie. Benakku masih terbayang senyumnya. Lelaki itu, benar-benar
tersenyum kepadaku. Tuhan, inikah pertanda baik darimu? Mengutus malaikat itu
untukku? Jika iya, maka izinkan aku untuk benar-benar berani mendekatinya,
Tuhan...
***
Sinar
matahari pagi menyeruak masuk ke dalam rongga kamarku, memenuhi setiap sudut
kamar dengan cahaya terang itu. Aku masih mengucek-ucek mata, sesekali menguap
lebar karena semalam aku tak bisa tidur. Aku terus memimpikan Donghae Sunbae.
Astaga, lihatlah aku ini. Sungguh konyol rasanya jika diingat-ingat, sampai
terbawa mimpi segala.
Aku turun
dari tempat tidurku yang lumayan besar ini, berusaha mencari sandal empuk
bergambar
Winnie the Pooh kesayanganku dan segera menuju kamar mandi. Setengah
jam lalu, Eomma membangunkan aku dengan cara kasar. Menyemprotkan air ke
wajahku. Sungguh kejam, bukan? Katanya Appa dan Eonnie-ku sampai menyerah
membangunkan aku. Apa sebegitu lelapnya aku, ya? Padahal semalam aku tidak bisa
tidur, hahaha.
“Yoona,
sampai kapan kau akan terus di kamar, sayang?” teriakan Eomma membuatku
langsung tersadar dan cepat-cepat memakai baju seragamku. Entah, aku sampai
tidak merasa sudah selesai mandi. Pikiranku melayang, tepatnya sore kemarin.
Haish, padahal hanya ditatap saja aku sampai begini, aku jadi berpikir
bagaimana kalau kami benar-benar.. Ya! Im Yoona, babo! Mana mungkin itu terjadi.
Lagipula, kau jangan kepedean,
Yoona, siapa tahu itu hanya halusinasi atau imajinasi ketinggianmu. Jja! Hari ini akan menjadi hari yang
menyenangkan! Berjuanglah Im Yoona, kau pasti bisa lewati hari-harimu!
“Yoona!”
“Ne, Eomma, aku datang!” seruku balik
teriak. Aku yakin aku akan diberi ceramah pagi oleh kedua orangtuaku ini. Huft,
selalu begitu.
***
Aku
melangkahkan kakiku dengan lemas. Kalian ingatkan, Eomma tadi pagi menyuruhku
untuk bergegas? Kalian tahu apa yang kami bicarakan selama sarapan? Perjodohan.
Ugh, rasanya aku mau mati saja. Tak bisakah, Eomma tidak membicarakan soal
perjodohan? Cukup sekali Eomma dan Appa membahas masalah itu. Aku tidak
mengerti apa yang dipikirkan kedua
orangtuaku sampai-sampai selalu ngotot untuk menjodohkan atau memperkenalkan
aku dengan seorang lelaki.
Alhasil,
setiap pagiku selalu disuguhkan menu ‘sarapan spesial’.
Oke, biar
aku jelaskan lagi. Aku Im Yoona, setiap orang memanggilku Yoona atau Yoong.
Yah, meski aku terlahir dari golongan orang kaya, namun aku lebih suka
berpenampilan sederhana layaknya orang biasa. Orangtuaku mengelola perusahaan
susu dan juga memiliki berbagai salon di sekitar wilayah Seoul, Mokpo, dan juga
Busan. Perusahaan Appa seringkali masuk majalah atau koran harian. Oleh karena
itu, kedua orangtuaku sangat terkenal dan terpandang di lingkungan ini, tapi
tidak dengan aku. Aku lebih sering menghabiskan diri di perpustakaan kota atau
taman bermain anak-anak. Aku jarang sekali pergi ke mall atau taman hiburan,
sebab aku tak ingin menjadi anak yang manja dan suka menghamburkan uang hasil
jerih payah Appa dan Eomma. Tekadku, aku harus menjadi seorang wanita karir
yang sukses dan penyayang anakku kelak! Harus!
Jadi.. Jelas
saja, Appa sering bertemu banyak kenalan yang memiliki anak lelaki. Tapi, aku
tak tertarik sama sekali atas tawaran mereka untuk berkenalan. Hei, ingatlah,
aku menyukai Donghae Sunbae. Meski harus dilihat dari balkon sekolahku. Tetap
saja, aku menyukainya, kan?
Tadi pagi,
Appa dan Eomma bilang akan mengenalkan aku pada anak teman baik Appa. Awalnya
aku menolak, seperti biasa. Namun lama-lama omongan Appa merambat ke arah sana
lagi, Appa bersikeras untuk menjodohkanku –paling tidak berkenalan dulu,
katanya– dengan anak kerabat Appa itu. Entah ada apa dengan beliau, ia keras
sekali ingin aku dengan anak kenalan Appa tersebut bertunangan atau bahkan
langsung menikah, setelah aku lulus SMA. Katanya, aku bisa melanjutkan kuliah
setelah menikah dan mengikat janji suci itu. Cih! Apa-apaan itu, bahasa yang
terlalu baku dan terdengar murahan bagiku.
‘Kau ini
sudah berumur 17 tahun, Yoona! Bersikaplah dewasa sedikit, paling tidak jangan
bawa tabiat burukmu. Harusnya kau menerima atau sekedar berkenalan dengan anak
teman Appa, ini! Ayolah, Yoona, anak kenalan Appa ini sungguh sempurna, kan pas
dengan kau, anak Appa yang sempurna.’
Begitu
ocehan beliau tadi pagi –ani, setiap
akan mengenalkan aku dengan anak kerabatnya– dan itu membuatku tak nafsu makan.
Aku kesal, kau tahu? Rasanya seperti tak dianggap becus. Padahal jalan hidupku
masih panjang. Sekarang aku tanya, siapa yang tidak dewasa dalam hal ini, coba?
Dan aku masih ingin kuliah juga meniti karir, bukan menjadi ibu rumah tangga
seperti Eonnie-ku yang dinikahkan seusai SMA. Lalu memiliki anak di usia muda dan
itu... Sungguh merepotkan. Aku tidak mau!
Lorong
sekolahku tampak masih sepi, mungkin ini masih terlalu pagi. Aku sengaja
cepat-cepat berangkat sekolah karena malas berdebat dengan kedua orangtuaku.
Percuma saja, memohon-mohon. Toh, takkan dikabulkan. Mungkin aku akan menuruti
keinginan Appa untuk sekedar berkenalan. Tapi tidak dengan dijodohkan! Aku muak
mendengar kalimat itu.
Brukk.
“Adaaw. Appo.” ujarku mengelus pinggangku yang
sakit akibat benturan barusan. Aish, orang ini, apa ia tak tahu aku sedang
sangat kesal?! Atau mungkin akunya yang bodoh, saking jengkel dengan sikap
Appa, jadi aku tak konsen melihat jalan.
“Ya! Kau ini
jalan li–“ ucapanku terputus saat kulihat sesosok namja bertubuh atletis –tegap berisi maksudnya– yang menabrak hingga aku terjatuh. Astaga! Dewi Fortuna
sedang berpihak padakukah hari ini?
“Mianhae, Nona Im. Aku tak sengaja. Mau
kubantu berdiri?” tawar sosok itu dengan mata teduh khasnya. Ia mengulurkan
tangan kanannya padaku yang masih terduduk di lantai. Omona..., apa aku bermimpi? Jika iya, jangan bangunkan aku
sekarang.
“N-ne. Gamsahamnida, Sunbae.” jawabku terbata. Aku berdiri dipapah
olehnya, kakiku sedikit ngilu. Mungkin karena aku jatuh dengan badan bertumpu
pada kakiku. Pagi indahku sedikit ketiban sial, rupanya.
“Cheonmaneyo, apa kau tak baik-baik saja?
Kurasa kakimu terkilir, Nona Im.” ucapnya lagi. Nona.. Im? Apa ia tahu namaku?
Ah, memikirkannya saja membuat kedua pipiku sukses seperti direbus. Tidak,
tidak, jangan berpikiran macam-macam, Yoona!
“A-ani, tidak apa-apa, Sunbaenim.” ucapku
ragu. Sebetulnya, kakiku terasa nyut-nyutan di bagian mata kaki, mungkin benar
kata Donghae Sunbae, kakiku terkilir. Lagian, siapa juga yang tak terkilir
tertabrak dengan posisi kaki sedang split begitu? Namun, aku urung
mengatakannya.
“Jeongmal?”
“N-nde. Gamsahamnida, D–Donghae Sunbae.” ucapku.
“E? Kau tahu
namaku?” tanyanya sedikit heran, bisa kubaca dari kerutan di keningnya. Bodoh
sekali, pertanyaan macam apa itu? Ia kan terkenal disini, mana mungkin tak ada
orang yang tak tahu dirinya. Dan lagipula, aku kan penggemarnya, hehehe.
“Amm.
Bukankah semua orang juga tahu namamu, Sunbae?” ujarku merasa aneh dengan
pertanyaannya.
“Oh, begitu.
Aku tak tahu kalau aku begitu terkenal. Berarti.. Kau adalah hoobae-ku kan?” tanya Donghae Sunbae.
Aku menundukkan kepala, kemudian mengangguk pelan. Tak berani menatap matanya.
“Hm. Im
Yoona dari kelas 11-A, putri bungsu Keluarga Im –pengusaha susu dan salon
ternamadi Seoul–, murid terpintar seangkatan dan berbakat dalam bidang akting.
Kau memenangi berbagai penghargaan selama SMP untuk kategori akting. The Goddes of Beauty di Hannyoung
High School. Sahabat dari pacar Kyuhyun-nie, Changmin-aa, dan juga
Yesung Hyung. Maniak tokoh kartun beruang berwarna kuning, sampai-sampai jam
tangannya pun bergambar beruang. Lebih gemar membaca di perpustakaan ketimbang
bergabung dan bergosip di taman dengan gadis-gadis lainnya. Aaa~ Aku benar,
kan?” tutur Donghae Sunbae panjang lebar.
Aku
tercenung. Tentu saja aku heran. Dahiku berkerut sepuluh, bibirku mengerucut
kaget. Apa benar yang dihadapanku ini Donghae Sunbae? Apa ini hanya mimpi,
saja? Aigoo, pagi ini benar-benar
mampu membuat degup jantungku berdetak tak beraturan. Yoona, kau harus
konsentrasi.
“N-ne. B-bagaimana Sunbae bisa tahu
tentangku?”
“Hahaha.
Tentu saja aku tahu, kau ini cukup terkenal di SMA ini, Nona Im. Lagipula,
semua orang juga tahu kalau hanya begitu saja. Apa kau tak menyadari itu? Ckck,
sepertinya kau memiliki masalah kepekaan disini.”
“Tidak,
kupikir tidak ada orang yang tahu siapa aku.” ucapku lirih. Aku benar-benar tak
percaya dengan ucapannya, tentang aku yang cukup terkenal dan ia bahkan tahu
siapa aku. Bodoh, kau Im Yoona! Seharusnya kau mengikuti saran Yuri Eonnie
saja.
“Ya!
Bagaimana bisa kau berpikir begitu? Hahaha. Babo,
harusnya kau tahu, kau ini sering jadi bahan perbincangan siswa-siswa kelas 12,
terutama namja.” ujar Donghae Sunbae.
“Ne?”
“Aku serius,
Nona Im. Oh iya, jangan panggil aku... Em, dengan kata ‘Sunbae’. Ditelingaku panggilan
tersebut terasa asing. Panggil aku Oppa, arraseo?”
ucapnya.
Oppa?
Donghae... Oppa? Huaaa, aku yakin setelah ini aku akan berhambur pada ketiga
sobatku yang selalu mencela dan memceramahiku mengenai hal ini.
“Ng-ngg. Ye, Donghae Sun– maksudku, Donghae
Oppa.” ucapku terbata.
“Hahaha. Kau
ini lucu sekali, Yoona-ya.” kata Donghae Oppa sembari mengacak-acak rambutku.
Deg. Jantung
ini semakin kacau jika aku berlama-lama disini. Aku harus secepatnya meminta
izin pergi, kalau tidak Donghae Oppa bisa mendengar suara detak jantungku. Itu
gawat!
“Eng–
Donghae O-oppa, a-aku harus segera ke kelas. Annyeong!” ujarku buru-buru dan langsung mengambil langkah seribu
menuju kelas. Aku tak menoleh ke belakang, takut-takut kalau Donghae Oppa
memandangku dan membuatku jadi tak ingin pergi. Aku mempercepat langkahku, aku
harus menemui ketiga sahabatku. Harus.
***
“JINJJA?!”
“Shhhht.
Sooyoung-aa, Yuri Eonnie, Seohyun-nie! Sudah kubilang jangan berlebihan seperti
itu ekspresinya.” decakku jengkel. Ugh, tahu begitu aku membekap mulut mereka
sebelum aku bercerita.
Kami
berempat sedang duduk bersantai di balkon atas, aku menceritakan kejadian tadi
pagi. Dan..., kau pasti tahu reaksi ketiga sahabatku ini ketika mendengarkan
ceritaku. Huft, harusnya aku membawa lakban atau lem sekalian. Suara mereka
bisa terdengar sampai lantai dua, aku tidak bisa membayangkan kalau tiba-tiba
angin puting beliung dikalahkan suara menggema berlebihan mereka. Oke,
berlebihan.
“Sulit
dipercaya! Bagaimana– maksudku, kau selama ini kan hanya berani memandang dari
sini saja. Kok, bisa ya, Donghae Oppa tahu kau sebegitu detil?”
“Aku setuju
Yuri-ya. Kukira, lelaki dingin seperti Donghae Oppa dan tidak punya perasaan.
Tapi,
benarkah ia mengatakan selengkap-lengkapnya tentangmu, Yoong-aa?” tanya
Sooyoung padaku.
“Betul kok.
Aku mendengarnya sendiri. Aku jadi bingung, katanya aku sering dibicarakan oleh
teman-temannya. Kurasa ia berlebihan sekali.” keluhku. Ketiga sobatku
mendengus, bahkan Seohyun menepuk dahinya. Alisku mau tak mau terangkat satu.
“Kalian
kenapa?”
“Kau ini
bodoh atau apa? Jelas saja kau diperbincangkan. Mana ada orang tak tahu kau,
sama halnya dengan Donghae Oppa. Kau juga terkenal, Yoongie-ya. Anak bungsu
pengusaha kaya raya, Im Family. Percayalah padaku, kau satu-satunya gadis
paling lemot yang tidak peka lingkungan disekolah ini. Terkadang aku meragukan
IQ-mu yang tinggi itu.” ucap Yuri Eonnie sebal setengah mati terhadapku.
“Ya!
Sudahlah, aku jadi tidak mood membahas ini dengan kalian.” ketusku.
“Baiklah, baiklah, kami menyerah. Yang harus kita pecahkan
disini adalah, mengapa bisa Donghae Oppa mengenal keperincian dirimu begitu?
Apa jangan-jangan ia juga sama sepertimu, diam-diam memerhatikan dari
persembunyian?” kata Sooyoung menengahi.
“Molla. Kalau aku
tahu, mana mungkin aku minta pendapat kalian, bodoh!” rutukku jengkel sembari
menepuk dahi Sooyoung. Sedangkan gadis itu meringis.
“Tapi kan, biodata Yoona Eonnie memang tersebar dimana-mana,
mengingat kau orang terpandang disini. Di internet, pasti ada. Di daftar
sekolah ini juga, pasti ada. Im Ahjussi kan nomor dua donatur terbesar disini. Betul
kan?” celetuk Seohyun.
Betul juga, ya. Ah, kau Im Yoona, terlalu berharap ia
mencari tahu tentang dirimu.
“Iya, sih. Tetapi gunanya apa, Seo-ya? Itu maksudku. Kita harus
mendapatkan jawaban pasti. Karena aku tak ingin cinta pertama untukmu, menjadi
petaka untukmu, Yoongie-ya.” jelas Yuri Eonnie. Aku mengangguk-anggukkan
kepala, antara setuju dengan ucapan Yuri Eonnie atau sedang menyetujui
pernyataan Seohyun tadi.
“Hm. Kurasa, ada baiknya aku tanyakan hal ini pada Kyuhyun
Oppa. Eottohke, Eonnie? Bolehkah?”
tanya Seohyun sopan. Aku tersenyum. Ini yang kusukai dari adik manisku satu
ini. Meski keadaan mendesak sekalipun, ia tetap bertanya dan meminta izin
dengan sopan, sehingga orang lain pun pasti akan merasa tenang bila berada
didekatnya.
“Tentu saja. Tapi, jangan katakan padanya soal kejadian tadi
pagi apalagi menyangkutpautkannya pada Kyuhyun Oppa, arraseo?”
***
“Yeoboseyo?”
“Yeoboseyo, ada apa meneleponku Seo-ya?” terdengar suara di seberang. Suara bass khas
anak lelaki yang beranjak dewasa. Kyuhyun Oppa. Ya, kami bertiga sedang
menguping pembicaraan Seohyun dengan loudspeaker
ponsel Seohyun, tentunya tanpa diketahui Kyuhyun Oppa.
“Ah, tidak. Aku hanya ingin minta bantuanmu, Oppa. Apa aku
mengganggu saat ini?”
“Aish, kupikir kau
merindukanku. Tidak sama sekali, Seohyun-nie. Mueoseul dowa deurilkkayo (Apa
yang bisa aku bantu)?”
“Kau kenal baik dengan Donghae Sunbae, bukan?”
“Hmmm. Donghae Hyung?
Lee Donghae? Anak kelas 12 itu, kan?”
“Ne!”
“Lalu?”
“Donghae Sunbae orang kaya dan terkenal, kan ya?”
“Uhm. Memangnya
kenapa?” Aku bisa merasakan nada heran dari cara bicara Kyuhyun Oppa,
mungkin ia bingung mengapa tiba-tiba pacarnya menanyakan hal ini padanya.
“Tidak. Apa menurutmu Donghae Sunbae mengenal Yoona Eonnie?
Errr, maksudku, apakah menurutmu Yoona Eonnie dikenal olehnya? Umm, kau tahu
kan, Yoona Eonnie sahabatku, ia tak percaya ketika aku bilang ia cukup
terkenal, Oppa. Jadi..., Yah. Aku hanya ingin tahu saja.” tanya Seohyun
berkelit-kelit. Keringat dingin mengalir di kedua pelipisku. Jantungku berdegup
kencang.
“Tentu saja Donghae
Hyung tahu Yoona. Im Yoona sahabatmu itu kan? Yang selalu jalan berempat dengan
kau, Yuri juga Sooyoung. Waeyo,
Seohyun-aa? Ada masalah?”
“Jeongmal? Apa
Donghae Sunbae tahu semua tentang Yoona Eonnie?” tanya Seohyun terkejut. Aku
bisa melihat Yuri Eonnie dan Sooyoung tersenyum penuh arti dari ujung mataku,
namun aku pura-pura serius mendengarkan pembicaraan ini lebih lanjut.
“Ne, bukankah sahabatmu itu memang anak pengusaha kaya? Bagaimana
mungkin satu sekolah tak
kenal ia. Kau ini bagaimana.” celetuk Kyuhyun Oppa.
Aku –Yuri Eonnie dan juga Sooyoung– menghela nafas berat,
sebisa mungkin kami tidak memperdengarkan suara lenguhan berat kami. Seohyun
pun mendengus kesal, kudengar.
“Ya! Oppa! Seriuslah sedikit kalau berbicara. Ini menyangkut
hidup dan mati!” Aku nyaris tertawa meledak, untung saja aku segera sadar akan
telepon itu masih menyambung.
“Seo, aku tidak
bercanda. Siapa sih, yang tak tahu Yoona? Tentu saja tak ada. Lagipula kau ini
aneh-aneh saja. Yoona memang sudah banyak digunjing-gunjingkan banyak namja tahu! Oh iya, aku ada janji untuk latihan futsal
bersama teman-temanku. Sudah dulu, ya, jagiya. Saranghae!”
KLIK.
Seohyun bahkan kudengar belum mengucapkan sepatah kata untuk
protes, namun Kyuhyun Oppa rupanya sangat gesit dan langsung mematikan
teleponnya. Aku tersenyum kecut. Baru kusadari satu hal baru, aku dikenal bukan
karena diriku, tapi karena perusahaan Appa dan Eomma-ku.
***
“Ppali, Yoona, kau
tidak ingin membuat Appa dan Eomma malu, kan?” teriak Appa dari bawah. Aku
bergegas mengambil tas kecil yang biasa kubawa ketika ada acara makan malam
dengan kerabat Appa. Ingat soal perkenalan? Ya, ya, akhirnya aku menyetujui
saja. Tanpa memberitahu ketiga temanku soal ini. Aku ngeri bila memberitahu
mereka justru akan membuat mereka kecewa.
Dress imut berenda cokelat tanah selutut dengan bando lucu
senada, aku segera memasangkan sepatu flat berwarna cokelat tua bermotif
bunga-bunga di bagian depan. Wajahku hanya kuolesi dengan bedak tipis dan
lipgloss saja, aku tak suka berdandan menor seperti Ahjumma-ahjumma. Akhirnya dengan cepat aku menuju ke bawah. Kulihat
Appa tengah menggerutu kesal, kakinya tak henti-henti menghentak-hentak tak sabar.
Namun setelah melihatku, Appa langsung menarikku keluar, cepat sekali.
Aku heran, mau kemana aku ini dibawa mereka? Ke pesta atau
bertemu ‘orang’ itu sih? Berlebihan sekali, aish...
“Kau ini, lamban sekali! Pantas saja, tak ada lelaki yang
mau melirikmu. Jalanmu bagaikan keong, kau tahu, huh? Appa sekarang meragukan
kecerdasan otakmu itu.” omel Appa tak jelas. Aku sih hanya diam dan
mendengarkan ocehannya, sudah tiada guna pula aku membalas celotehan Appa. Yang
ada aku kena tibas omelannya, bahkan lebih panjang lagi.
“Yeobo, jangan
marah-marah terus. Biarkanlah Yoona rileks menjelang bertemu sang calon suami.”
tutur Eomma ketika aku dan Appa masuk ke dalam mobil. Mataku membulat kaget,
aku memandang Eomma dengan pandangan apa-maksud-Eomma?
“Ah, benar juga. Tak seharusnya aku membuat Yoona semakin
gelisah. Benar, kan, Yoong?” goda Appa. Aish, jinjja, apa-apaan ini!? Bukankah aku sudah bilang, aku tak mau
kawin muda! Appa berjanji hanya akan mengenalkanku saja, bukan?
“Appa, Eomma, maksud kalian apa sih? Aku kan sudah bilang
berkali-kali, aku tak ingin kawin muda! Aku masih mau meniti karir dan
meneruskan kuliahku, Appa!” ucapku dengan rahang terkatup.
“Tekad Appa sudah bulat, Yoona. Kau harus mau dijodohkan.
Apa kata orang-orang diluar sana, kalau tahu anak Appa tidak menikah dan
meneruskan pekerjaan Appa kelak? Kau mau membuat dirimu sendiri menjadi perawan
tua? Sadarlah, ini baik demi kelancaran bisnis Appa dan juga masa depanmu.”
cecar Appa pedas.
Jujur, aku rasanya ingin menangis. Ini namanya tidak adil!
Memangnya aku sebodoh itu dalam hal percintaan? Tidak juga, kan? Aku menyukai
seseorang, meski aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku. Tetap saja,
setidaknya aku mencintainya. Walau aku tahu demi mendapatkan balasan dari
harapan itu sangatlah kecil.
“Sudahlah, jangan beradu debat begini. Yoona, kau turuti
saja kami, eo? Eomma janji, lelaki
ini sungguh pas dan sempurna disandingkan denganmu, sayang.” lerai Eomma
sebelum pertengkaran mulut dimulai lagi. Aku hanya dapat mengangguk pasrah,
demi Eomma.
Restaurant, 20:00 KST
Suasana diruangan ini begitu dingin, terlebih aku mengenakan
dress selutut. Aku hanya menunduk sejak kami datang. Dihadapanku ada seorang
wanita paruh baya mendampingi sesosok lelaki berumur 40-an, meski begitu,
tampaknya lelaki itu masih kuat beraktifitas dan terlihat gagah. Dan
lagipula..., kemana lelaki yang katanya akan dijodohkan denganku itu? Daritadi
aku sama sekali tidak menyadari ada ia disini. Huft, kakiku dan otot-otot
leherku mulai terasa pegal.
“Baiklah, apa kabar Tuan Lee?”
“Sangat baik, Tuan Im. Sudah lama kita tak berjumpa, kau
makin gagah saja. Kau sendiri bagaimana?” goda ahjussi tersebut yang
akhirnya aku tahu bermarga Lee.
“Ah, kau ini bisa saja. Aku tentu baik, apalagi setelah tahu
anak-anak kita akan dijodohkan. Wuah, kurasa aku sebentar lagi akan menjadi Harabheojhi. Hahaha.” gelak tawa tak
lepas dari wajah mereka. Sementara aku? Semakin merunduk saja. Appa ini
benar-benar... Kami belum tentu menikah!
“Wah, aku tak menyangka anak bungsumu sangatlah cantik, Tuan
Im. Persis seperti Eomma-nya.” celetuk wanita paruh baya dihadapanku.
“Ah, Nyonya Lee, bisa saja.” ujar Eomma tersipu malu. Aku
merengut sebal. Masa aku yang dipuji, Eomma yang malu? Ada-ada saja.
“Mereka cocok sekali jika disandingkan, bukan begitu Tuan
Im?” kata pria itu. Maksudku, Tuan Lee. Yea, whatever namanya, aku tak mau peduli juga.
“Cocok, cocok sekali, Tuan Lee. Aaa~ Aku yakin cucuku nanti
memiliki wajah yang sempurna.” kekeh Appa.
What?! The?!
“Mianhamnida, saya
terlambat.”
Fiuh, untunglah. Sebuah suara berat dari arah belakangku,
membuat kami semua terdiam dan menghentikan pembicaraan. Bagus, jadi aku tak
muak mendengar kata-kata mereka. Kami menoleh –kecuali aku–, lalu tersenyum
mengembang. Aku hanya diam. Keringat dingin membuat telapak tanganku basah. Aku
tak berani menatap sosok lelaki yang akan dinikahkan denganku ini. Oh, Tuhan...
Aku ingin hari ini cepat berakhir saja.
“Tak apa-apa, sayang. Kami juga baru datang.” ucap Nyonya
Lee.
“Benarkah?”
“Ye, duduklah. Kau
pasti lelah, setelah pemotretan siang tadi.” sekarang gantian Eommaku yang menasihati. Tunggu dulu, Eomma kenapa
nampak akrab, begitu? Ish.
“Nona Im, perkenalkan. Ini calon suamimu alias anak
bungsuku, kalian akan kami nikahkan pada saat kau lulus SMA kelak. Cocok,
bukan? Kalian sama-sama anak bungsu dan menawan. Hahaha. Oh, iya, kudengar
kalian bersekolah di tempat yang sama, kan? Jadi.., kurasa tidak masalah dengan
pendekatan. Kalian mulai saja pelan-pelan, oke?” ucap Tuan Lee memperkenalkan
anaknya. Aku tersentak. Satu sekolah? Leherku saja hampir putus rasanya kalau
Appa tidak menaikkan daguku hingga aku bertatap mata dengan...
“OMONA! DONGHAE SUNBAE?!” teriakku.
***
“Jadi..., selama ini Sunbae sudah tahu, akulah yang akan
menjadi pendampingmu, begitu? Kau juga tahu kalau aku, Im Yoona, akan
dijodohkan denganmu saat aku lulus SMA nanti, hah?”
Setelah acara makan malam tadi berakhir, Eomma dan Appa
menyuruh Donghae Sunbae mengantarku
pulang. Awalnya aku tidak mau, tapi Eomma dan Appa bersikeras memaksaku.
Alhasil, beginilah jadinya. Aku terus menginterogasi Donghae Sunbae dengan
berbagai pertanyaan yang menyeruak begitu saja di hatiku ketika kami berada di
dalam mobil Donghae Sunbae.
Kau tahu? Percakapan kami di restoran tadi, tak gelak
membuatku semakin cemberut kesal. Ternyata selama ini, Donghae Sunbae sudah
mengetahui detil tentang aku. Apa makanan kesukaanku, warna favoritku, tempat
yang sering kudatangi dan juga tahu ketiga sobatku yang cerewet itu.
“Yap. Kenapa?”
“Kenapa kau–”
“Tidak memberitahumu?” Donghae Sunbae melirikku sekilas. Aku
memalingkan wajahku keluar jendela, memandangi jalanan kota Seoul yang ramai,
daripada aku harus bertatap wajah dengan namja
babo disampingku ini. Kesal, jengkel, marah, kecewa, dan... Terserah
ungkapan apa itu. Yang jelas, aku merasa tidak dihargai. Bisa-bisanya ia
pura-pura tak tahu. Pantas saja, tempo hari ia bisa mendeskripsikan diriku
secara detil begitu. Tidak sopan.
“Ya! Nona Im, jangan marah padaku, jebal.”
“Aku tidak marah.” ketusku.
“Jinjja?
Kelihatannya malah berbalik. Memangnya apa salahnya aku diam saja? Kau tahu
kan, selama ini aku lebih sering bersama teman-teman namja-ku dan jarang –bahkan tidak pernah– jalan atau kencan dengan yeoja-yeoja di sekolah.”
Aku menoleh cepat. Apa maksudnya?
“Errr– maksudku, aku ini bukan tipe namja yang gesit dalam percintaan. Justru bisa dibilang, aku ini
yang paling bodoh dari kami berempat. Yaah.. Kau pasti tahu siapa saja yang aku
maksudkan. Contoh saja, Yesung Hyung. Ia dengan mudah mendapatkan hati
sahabatmu itu... Em, Yuri-ssi. Atau mungkin, Changmin? Sekali kedip, sepuluh
gadis langsung mengerubutinya. Ah! Kyuhyun juga begitu. Ia sangat membanggakan
dirinya yang bisa menaklukan hati Seohyun-aa. Sementara aku? Sejak Appa
memberitahuku soal dirimu dan perjodohan kita, aku hanya bisa diam saja. Padahal
dari dulu aku sudah kagum padamu, Yoona. Aku ini... Pengecut.” tutur Donghae
Sunbae menunduk sendu.
Aku tercengang. Hei, ingat ya, baru sekali ini aku melihat
wajah dingin Donghae Sunbae berubah jadi sendu. Dan tambahan. Apa sekarang ia
sedang curhat padaku? Sudah lebih dari dua kata yang ia ucapkan. Banyak orang
bilang, Donghae Sunbae orangnya dingin. Mengapa denganku seperti ia bercerita
pada Eomma-nya?
“Kau pasti heran, kan? Kenapa aku menerima saja tawaran Appa
ini, kenapa aku bisa bercerita hal ini padamu, dan juga kenapa... Kenapa aku
bisa mengekspresikan jiwaku sekarang. Iya, kan?”
“Sebetulnya, kupikir kau orang yang sinis. Upss.” ucapku
keceplosan. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan. Takut-takut, aku melirik
ke arah Donghae Sunbae yang meringis malu.
“Hahaha. Tak apa. Aku mengerti. Biarpun aku sinis pada
gadis-gadis norak di sekolah kita, yang selalu mengajakku jalan atau sekedar
mencari bahan obrolan denganku ketika istirahat, aku tetap berhati lembut pada
teman-temanku.” pujinya pada diri sendiri dengan amat narsis.
Alisku berkerut. Aish, apa benar ia Donghae Sunbae? Mengapa
ia begitu percaya diri begini, ya? Tidak seperti kata orang-orang.
“Kau percaya diri sekali.” cibirku jengkel.
“Memang benar, tahu. Buktinya kau saja sebenarnya juga menyukaiku,
kan? Anio, bukan suka tapi sayang. Eo?” godanya yang sontak membuat wajahku
memerah dan panas.
What the... Ia bilang apa? ‘JUGA’?
“YA! Siapa bilang?!” decakku cemberut sebal. Namja ini tak seperti yang kukira.
“Aaa~ Mengaku saja, Yoona-ya. E, berarti mulai sekarang kau
harus memanggilku... Yeobo atau jagi?
Kau kan mencintaiku.” godanya
lagi.
Aish! Habis sudah mukaku dihadapannya! Aku mengerucutkan
bibir sembari menggembungkan pipiku. Wajahku semakin memerah kala ia
mendekatkan mulut besarnya ke telingaku dan berbisik.
“Karena kau selalu melihatku dari balkon atas saat aku
bermain bola, ne?”
Yoona kau benar-benar spechless
sekarang. Eottohke?!
“Terserah kau saja, aku tak peduli!” ujarku sinis.
“Hehehe. Cuma bercanda. Setidaknya..., aku merasa nyaman
sekarang ini. Bersamamu.”
“Mwo?” spontan aku
menoleh. Alisku bertaut. Apa.. Katanya..
“Kau orang yang supel, tak heran banyak orang
mengunjing-gunjingkan dirimu. Mudah beradaptasi dengan orang lain. Senyuman
yang ramah dan murah hati. Kau berparas cantik luar–dalam, sehingga tak ada
orang yang sanggup untuk mengecewakan dirimu.” tambahnya lagi.
“Aku semakin tidak mengerti maksudmu, Oppa.”
“Begini saja. Apa kau percaya? Kalau aku bilang
sebenarnya... Aku sudah menyukaimu cukup lama?”
Deg. Benarkah? Aku diam tak bergeming. Bibirku terasa kaku,
tak ada satupun kata yang keluar dari mulutku. Kuyakin wajahku terlihat bodoh
dihadapannya. Kenapa aku merasa malam ini, malaikat jatuh ke Bumi?
“Dari saat kau menolong anak kecil yang terperosok di pinggiran
jalan dan tak ada yang menolong. Anak kecil itu terluka dan menangis. Ia
seorang yatim piatu dan hanya mengemis dijalanan, namun orang-orang yang
berlalu lalang seakan tak menghiraukannya. Aku tahu kau anak pejabat, karena
aku sempat melihatmu saat pertemuan pejabat se-Seoul. Aku kagum pada sosokmu
saat itu. Kupikir, gadis cantik keturunan orang penting takkan mau
melakukannya. Tapi, kau berbeda. Kau menolong anak itu, memberikannya permen
dan tersenyum ramah, menghentikan tangis anak itu. Memberinya kecupan di
kening, dan menggandeng bocah kecil itu pergi makan bersamamu. Akhirnya aku
memutuskan untuk mencari tahu namamu dan berita-berita tentangmu. Aku senang
saat tahu kau bersekolah di sekolah yang sama denganku. Dan.., sejujurnya aku lebih suka dengan sosok
gadis keibuan yang dandanan biasa daripada gadis angkuh yang fashionable. Aku terkejut saat Appa
memberitahuku bahwa aku akan dijodohkan denganmu, Nona Im, ah– Yoona. Dan kau
tahu, sejujurnya saat itu aku ingin sekali memeluk Appa. Hanya saja.. Aku
gengsi melakukan itu. Hehehe.” tutur Donghae Oppa.
Aku terperangah. Ia mengingat kejadian lama itu? Aku saja
tak ingat dan bahkan tak tahu ia memerhatikan aku saat itu. Whoaaa, kedua
pipiku merona.
“Emm. Jadi begitu...” Bodoh! Kenapa kau hanya mengatakan
itu, Im Yoona?
“Apa kau menerima perjodohan ini dengan senang hati, err–
begini maksudku, apa kau tidak keberatan kalau kau... Dijodohkan denganku? Apa
kau yakin dengan perjodohan ini?” tanya Donghae Oppa terbata dan gugup. Kulihat
ia mengelus tengkuknya sembari tersenyum kikuk.
Kau tahu bagaimana rasanya bahagia? Aku tersenyum tanpa
sadar. Membuat puppy eyes-ku
merekah.
“Tentu saja tidak.” ucapku mantap.
Ia menoleh cepat. Matanya memicing sampai dahinya itu
berkerut. Ya ampun, mungkin ia sedikit tak percaya. Tapi, sudahlah, toh ia juga
sudah tahu aku sering menatapnya dari balkon, huh.
“Kalau begitu..., apa tidak apa-apa kalau kau menikah
denganku saat kau baru lulus SMA nanti?”
“Ye, aku tak apa.”
jawabku diiringi dengan anggukan mantap.
“Jeongmal? Emm,
kalau begitu, bolehkah mulai sekarang aku menjagamu dan tidak membiarkanmu
lepas dariku. Kau tahu? Saat aku memutuskan satu gadis untuk menemani hidupku,
aku berjanji tidak akan melepasnya dan membiarkannya menangis. Itu prinsipku.”
ujarnya dengan senyum mengembang.
Aku mengulum senyum tulus dan gembira. Kemudian mengangguk
senang. Kulihat ia menatapku berbinar, bibirnya melengkung keatas. Tuhan,
begitu sempurnanya Engkau menciptakan wajah namja
ini? Perasaan bahagia
mengerayangiku, bahagia karena bisa bersama namja
idamanku. Entahlah, yang pasti sekarang aku benar-benar merasa beruntung.
***
1 Years Later
“Ya! Yoona-ya!”
Aku menoleh lalu tersenyum ramah. Kudapati ketiga sahabatku
bersama dengan kekasih masing-masing berlari ke arah aku berdiri –mungkin lebih
tepatnya meyeret kekasih-kekasih mereka tersebut– dengan gerakan cepat. Yap,
kini aku bersama mereka akan pergi berlibur untuk merayakan kelulusan kami.
Maklum, sudah setahu berlalu sejak keajaiban waktu itu.
“Apa kau sudah menunggu terlalu lama? Kemana ikan laut itu?
He, ia belum datang kah?” cecar Yuri Eonnie. Aduh, Eonnie, kalau bicara jangan
cepat-cepat, aku tidak mengerti tahu. Kebiasaan lama muncul lagi.
“Benar, aku tak melihatnya sosok Donghae Sun– maksudku
Donghae Oppa.” kata Seohyun dengan wajah polosnya.
“Belum terlalu lama, aku juga baru sampai kok. Ikan? Ooo,
maksudmu Donghae Oppa?” tanyaku. Yeah, kini aku dan Donghae Oppa terlihat lebih
sering ‘bersama’, karena perjodohan tentu saja. Tak terasa sudah satu tahun
lamanya kami bersama. Setahun itu pula kami lalui dengan saling mendekatkan
diri masing-masing, juga mengerti satu sama lain. Meski terkadang ada kalanya
terhambat, mengingat Donghae Oppa kini tengah meneruskan kuliahnya.
Yuri Eonnie,
Sooyoung, dan Seohyun sudah mengetahui hal ini sejak lama dan mereka sangat
setuju. Aku jadi geli kalau ingat satu tahun lalu, ketika mereka
jingkrak-jingkrak bahagia setelah mendengar berita tersebut. Lalu..., Yah, ini
adalah ‘kencan’ kami yang pertama. Aneh, bukan? Padahal kami sudah setahun bersama,
tapi Donghae Oppa tak pernah lebih dari sekedar mengantarku pulang dan
mejemputku ke sekolah. Oh iya, Donghae Oppa telah lulus SMA setahun yang lalu,
ia diterima di Kyunghee University. Meski
begitu, aku dan Donghae Oppa masih sering berkomunikasi, ditambah kedua orang
tua kami yang gencar-gencarnya mendekatkan kami berdua. Aigoo.
Dan ketiga sahabatku tidak ingin terjadi apa-apa antara aku
dan Donghae Oppa disaat kencan pertamaku –ralat, maksudku kami–. Jadinya mereka
membawa kekasih masing-masing dan mengikuti kegiatanku hari ini –meski awalnya
Donghae Oppa membantah, tapi akhirnya ia pasrah saja. Jinjja, aku jadi terharu.
“Ye, mana bocah
itu? Apa ia lupa akan janjinya padamu?” protes Yesung Oppa dongkol. Kulirik
pergelangan tangannya yang memerah. Sudah bisa ditebak kan?
“Apanya yang bocah, Hyung? Aku sudah sampai, beberapa menit
setelah kalian tiba.” ucap Donghae Oppa mengejutkan kami. Wajahnya cemberut
sebal, bibirnya itu... Aigoo, ingin
kukecup rasanya, eh?
“Hyung, kau ini membiarkan kami diseret-seret oleh mereka,
hm?” seru Kyuhyun Oppa ikutan sebal. Aku menaikkan satu alisku, ada-ada saja
mereka ini. Sudah lulus SMA, kekanak-kanakkannya masih tersisa.
“STOP! Sudah, lebih baik, kita segera masuk ke Lotte World
sebelum antrian memanjang, oke? Kajja
bersenang-senang!” teriak Yuri Eonnie dan Sooyoung berbarengan. Aku
menggeleng-gelengkan kepala heran, kulihat Seohyun malah cekikikan melihat
Yesung Oppa dan Changmin Oppa ditarik-tarik kekasih masing-masing.
“Jja, ayo, kita
ikut, Seo-ya. Hyung, ppali kita jalan.
Jangan memandangi Yoona terus, aku tahu kau pasti memuji gadismu, tapi lama-lama
yang melihat juga risih, tahu.” kekeh Kyuhyun Oppa sebelum beranjak pergi.
Pipiku merona mendengar ucapan Kyuhyun Oppa.
“Ya! Awas kau, ya, Kyuhyun-aa! Aish, dasar anak setan. Ah,
Yoona, ayo kita susul mereka.” ajak Donghae Oppa sembari menarik tanganku. Ya,
bergandengan tangan. Hanya sekedar tangan, aku dan Donghae Oppa sepakat untuk
tidak melakukan lebih sebelum kami menikah.
Aku tersenyum padanya. Meski
belakangan ini aku merasakan ada kejanggalan dalam tiap helaan nafas
Donghae Oppa seakan tengah menghadapi sesuatu yang berat, tetapi aku memilih
tak ambil pusing. Toh, kami sudah bukan anak SMA lagi.
***
“1 pizza ukuran
large, 3 mangkuk kimchi ukuran large,
2 lasagna ukuran medium, lalu 4 es
melon, 2 capuccino dan juga 2 air
mineral. Gamsahamnida, Ahjumma.”
Aku memesan beberapa makanan karena kami memang sangat
lapar. Terlebih tadi Yuri Eonnie hampir muntah karena menaiki roaller coaster yang terkenal mematikan
di Lotte World ini. Alhasil, Yesung Oppa jadi korban dicengkram olehnya. Yah,
ampun.
Dan satu lagi, kali ini aku merasa ada yang berbeda dari
Donghae Oppa. Ia lebih banyak diam dan memerhatikan ponselnya. Terkadang aku
menangkap ia tengah menghela nafas berat dan berdecak, lagi dan lagi.
Seperti... Ada beban. Hanya saja ia kerap ikut tertawa saat bermain bersama.
“Oiya, Yoona, kau kan sudah lulus. Lalu kapan kalian,
–maksudku kau dan Donghae akan menikah? Aku sudah tak sabar menanti pernikahan
kalian, kkk.” tanya Yesung Oppa ketika kami sedang beristirahat di sebuah cafe.
Pertanyaan pertama sejak kami duduk di cafe ini, entah mengapa lidaku begitu
kelu untuk menjawabnya. Disaat bersamaan, ahjumma
pemilik cafe ini sudah datang membawa nampan berisi berbagai makanan dan
minuman yang kupesan tadi. E, cepat sekali.
Donghae Oppa tersedak, sementara aku menggigit bibir
bawahku. Pertanyaan ini juga yang berkelebat di otakku. Katanya setelah lulus
SMA, aku akan dinikahkan dengannya. Langsung. Tetapi sampai sekarang aku tak
mendengar isu-isu itu lagi. Bahkan kini aku merasa kedua orangtuaku semakin
sibuk saja, huh.
“Gwenchana, Oppa?”
tanyaku lembut. Aku memberikan cappucino
miliknya seraya menepuk-nepuk punggungnya. Memberi sedikit ketenangan.
“Ah, aku tak apa-apa, Yoong.” jawabnya tersenyum ala anak
kecil.
“Hei, cepat jawab pertanyaan Yesung Ahjussi, Donghae Oppa!” gerutu Sooyoung kesal. Ia menyesap es
melonnya seakan baru mengangkat beban sepuluh ton, ckck Soo-ya, kau ini
kebiasaan.
Aku pun menunduk, ikut menunggu pernyataan Donghae Oppa.
Kulirik ia, mata menerawang kosong. Entah apa yang ada dipikirannya. Kok
perasaanku jadi tidak enak begini, ya?
1 detik.
2 detik.
3 detik.
4 detik.
5 detik.
“Mungkin akan diundur sampai aku selesai sarjana.” jawab
Donghae Oppa cepat lalu memalingkan wajahnya.
“MWO?!” koor
keenam orang dihadapanku. Sementara aku menatap tajam Donghae Oppa yang memang
berada disampingku. Tapi ia malah megalihkan wajahnya. Ada apa ini?!
“Apa maksudnya, Donghae-ya! Kau ingin mempermainkan gadis,
heh? Dulu kau bilang akan langsung menikahinya setelah Yoona lulus SMA?
Memangnya Appa-mu memperbolehkanmu bersikap seenaknya begini?” tanya Yesung
Oppa heran.
“Anio.”
“Lalu kenapa kau memutuskan untuk memundurkan tanggal
pernikahan kalian?” tanya Seohyun dengan tatapan kecewa. Aku tahu, diantara
mereka, Seohyun lah yang paling dekat denganku. Itu sebabnya ia langsung
merasakan getaran dihatiku, meski aku menyembunyikannya.
“Molla. Kurasa...,
aku harus fokus kuliah sampai gelar sarjana kusandang.” serunya sambil menyeruput
minumannya lagi.
CTARR.
Bagaikan dihambar petir.
Sakit, sekali.
Dadaku sesak begitu saja.
Entahlah, mungkin ini berlebihan untuk kalian. Tapi..,
ingatkah kalian saat aku dulu memutuskan untuk mendekatkan diri dengannya dan
berusaha menerima nasib kalau aku dijodohkan dengan namja ini? Aku bahkan rela tidak mendaftar kuliah dan memutuskan
untuk ikut jalur tahun depan demi ini semua. Tapi, kenapa?
–
–
“Jadi... Kau tidak
ingin melanjutkan kuliahmu, Yoong?”
“Bukan begitu, Oppa.
Setelah aku menikah, aku akan melanjutkannya. Karena nanti aku pasti akan sibuk
mengurusi semua keperluan menjelang pernikahan, jadi aku memutuskan untuk
menunda daftar kuliah.”
“Jeongmal? Kau benar-benar mencintaiku rupanya.” goda Donghae Oppa
dengan seringai kemenangannya. Aish, kebiasaan.
“Oppa!!”
–
Aku takut aku tak tegar, maka dari itu aku berusaha
tersenyum meski terasa hambar dan pahit.
“E, aku izin ke toilet dulu, chingudeul.” pamitku sembari menyelempangkan tasku.
Aku berusaha setenang mungkin beranjak meninggalkan orang-orang
yang berada disana. Kusunggingkan senyum rupawanku. Menampilkan keceriaan
seperti biasanya. Rupanya tidak dengan hatiku yang remuk begitu saja.
Apa kau pernah merasakan saat janji-‘nya’ padamu diingkari?
Bagaimana rasanya itu semua?
Sakit. Dan perih. Juga sesak.
Bisakah waktu berputar? Agar aku bisa merekam janjinya, itu?
Aku bersandar di daun pintu toilet cafe. Mataku kian memanas
dan akhirnya kristal-kristal bening meleleh di pelupuk mataku. Dadaku masih
merasa sesak. Kelu dan beku, itu yang aku rasakan. Padahal aku sudah rela untuk
menuruti kemauan Appa agar mendaftar kuliah setelah pernikahan terlaksanakan.
Tetapi, kenapa Donghae Oppa memundurkan segalanya?
Apa aku ada salah?
Aku kurang apa padanya?
Oh, Tuhan. Aku yakin hanya Engkau yang tahu. Dan semoga
saja, dibalik semua ini, ada alasan pasti yang tidak membuatku tersakiti atau
menderita.
***
Ini sudah menjelang seminggu semenjak ‘kencan’ pertamaku dan
Donghae Oppa berakhir dengan sangat tidak romantis. Setelah balik ke meja
tempat kami berkumpul –tentunya sehabis puas menangis di toilet cafe waktu itu–,
Donghae Oppa menarikku untuk pulang. Aku pun menurut saja. Pamit sekenanya
kepada enam orang temanku yang masih terpaku sembari tersenyum. Tersenyum pahit
tepatnya.
Mereka menatapku nanar. Hei, aku juga kecewa, bung.
Dalam mobil pun kami tak banyak bicara. Ugh, canggung sekali
pokoknya. Ketika sampai rumah pun ia langsung berpamitan, katanya ada pekerjaan
yang harus diselesaikannya cepat-cepat.
Dan lagi-lagi aku hanya bisa termangu dan mengangguk. Bodoh,
bukan? Yoona, sejak kapan kau lemah dan turut akan kemauan orang begini, hm?
Ck, sudahlah, aku ini memang bodoh dalam cinta.
Aku melamun menghadap keluar jendela kamarku. Kulirik jam
Winnie the Pooh di atas meja belajarku. Pemberian dari Donghae Oppa setengah
tahun yang lalu, saat tahu aku mendapatkan juara umum semester pertama kelas 12.
Aku mendengus. Tiba-tiba rasanya aku pusing dan sungguh
tidak bernafsu untuk melakukan hal lainnya, selain tidur dikamar atau menonton
TV. Sungguh, aku jadi malas-malasan. Karena bosan mengurung diriku hampir
seminggu ini.
Appa dan Eomma sibuk mengurusi pekerjaan mereka di kantor
masing-masing. Eonnie-ku? Tentu saja ia sibuk mengurus rumah tangganya. Yuri
Eonnie, Sooyoung maupun Seohyun tak terdengar kabar lagi. Hanya Seohyun yang
meneleponku malam-malam setelah dari Lotte World waktu itu. Tentu saja
menanyakan apa aku baik-baik saja, atau malah tidak baik sama sekali.
Lalu Donghae Oppa? Jangan ditanya lagi. Ia pasti sibuk
dengan ‘pekerjaan’nya.
Jadilah aku selalu dirumah sendirian. Menyesap teh hangat di
pagi hari, menonton TV, memasak makan siang, mandi, tidur, membaca novel dan
lain sebagainya yang –mungkin kalau aku tidak punya hormon tidak bisa gemuk,
aku bisa jadi gempal– membosankan.
Sama seperti hari ini. Aku melenguh sebal. Mengapa
orang-orang seakan sibuk dengan dunia mereka sendiri, sih? Aku jadi sebal.
Trrrt. Trrrt.
Ponselku bergetar. Aku melirik sekilas. Dengan malas, aku
mengambilnya dan menekan tombol hijau.
“Yeoboseyo?”
“Yeoboseyo. Yoona? Ah,
mianhae, sayang. Eomma lupa membawa
desain baju baru di laptop. Eomma menaruhnya di ruang tamu. Padahal sekarang
Eomma ingin menampilkan deskripsi dari gaun itu di butik Eomma malam ini.
Bisakah kau mengantarkannya kemari? Secepatnya, ya. Gomawo, Yoona.”
KLIK.
Mati. Telepon terputus dari satu arah. Errr, Eomma selalu
begitu. Kalau panik, nyerocos tak henti-henti
seakan lupa akan lawan bicaranya
di seberang.
Dengan malas, aku beranjak mengganti bajuku dengan baju
terusan berwarna hijau selutut menutupi legging
hitam yang kukenakan. Tak lupa jaket kulitku dan tas selempang. Aku
mengambil laptop Eomma di ruang tamu, memasukkannya ke dalam tas selempangku
yang besar. Lalu keluar dari rumah secepat mungkin, tanpa memerhatikan jam.
Hng, angin malam ini rupanya sedang bersemilir damai. Bulan
dan bintang seakan menemaniku pergi dari rumah, untuk pertama kali setelah
seminggu ini mengurung diri dirumah. Aku pun segera mengunci pintu rumah dan
menstater mobil sedan merahku. Menyusuri jalanan kota Seoul yang ramai berlalu
lalang mobil-mobil.
–
“Eomma! Aku datang membawa laptop pentingmu ini. Hei. Eomma,
kau dimana, sih? Oh, ayolah jangan bercanda.” ujarku gemetaran. Rasa takut
gelap dan juga bingung berkalut satu didalam pikiranku.
Lampu-lampu butik Eomma tak menyala satupun dari aku masuk
ke dalam. Dan tampaknya butik Eomma tidak berpenghuni. Aku tidak tahu kenapa,
tapi aku rasa butik Eomma sudah tutup. Kulirik jam Gucci cokelatku. Pukul
23.55. Jelas saja, butik Eomma sudah tutup. Mengapa pula aku langsung pergi
kemari? Eomma kan tidak bilang bertemu denganku disini, dasar Im Yoona bodoh.
Dan... apa? Ini tanggal... 29 Mei? Kenapa aku lupa besok
ulangtahunku? Aku pun menghela nafas panjang. Pasti takkan ada yang ingat, deh.
Seperti biasa. Lalu berjalan menuju pintu kaca butik Eomma, sampai akhirnya aku
merasakan ada yang memelukku dari belakang sambil menutup kedua mataku dengan
selembar kain. Sontak aku terkejut.
“YA!! SIAPA KAU? LEPAS!” teriakku panik. Aku memberontak
kuat, tetapi tangan kekarnya seperti mengunci tubuh mungilku.
Diam. Tak ada jawaban, malah orang itu semakin mendekapku
erat.
Ah! Aku kenal bau feromon ini. Aku sangat tahu bau parfum
vanilla yang sering digunakannya. Bau
ini.... Dia.
Tiba-tiba pelupuk mataku memanas dan wajahku memerah seiring
dengan desah nafasnya di tengkukku.
“D–donghae O–oppa.” panggilku lirih. Kurasakan tatapan
mataku yang –melihat pintu kaca butik Eomma– kabur. Airmataku meleleh begitu
saja.
Rindu, kecewa dan sedih bercampur satu dihatiku. Aku masih
sebal dengan penyataannya minggu lalu, tetapi disisi lain, aku sangat
mencintainya. Oke, sekarang aku akui, aku bukan sekedar mengaguminya.
Satu
tahun kami bersama, semakin kuat pula perasaanku padanya. Tapi aku takut ia
meragukanku.
Ia diam tak menjawab, meski begitu aku tahu ia tengah
tersenyum.
“Apa kau merindukanku, jagi?”
tanyanya dengan intonasi nada lembut.
“Tentu saja aku me– merindukanmu. K– kau sibuk akhir-akhir
i–ini. Aku tak punya t–teman di–dirumah belakangan i–ini. Je–jeongmal bogoshippo.”
jawabku terbata karena terisak. Aish, kau pasti bercanda, Yoona-ya. Kau
menunjukkan wajahmu ketika menangis dihadapan pangeranmu, huh? Memalukan.
“Benarkah? Kalau begitu.. Diam dan berbaliklah.” perintahnya
dengan tegas. Perlahan namun ragu, aku berbalik dibantu dengan lengannya.
Aku tertegun sesaat ketika tangannya terulur ke belakang
kepalaku dan melepaskan ikatan kain yang menutup kedua mataku. Setelah
terlepas, aku mengerjap-ngerjapkan mataku beberapa detik karena cahaya yang
masuk ke dalam mataku secara tiba-tiba membuat mataku silau. Entahlah, sejak
kapan lampu ini menyala?
“HAPPY BIRTHDAY, IM YOONA!”
Aku terperangah.
Kaget dan terharu.
Bagaimana tidak? Lihatlah, dihadapanku ada Eomma, Appa,
Eonnieku beserta suami dan anaknya, ketiga sahabatku juga kekasih mereka
masing-masing, dan kedua orang tua Donghae Oppa dan Donghwa Oppa, kakaknya
Donghae Oppa. Aku melihat sekitar butik, terpampang berbagai pita-pita
berwarna-warni yang tertempel di dinding butik Eomma. Dan tak ada satupun
desain-desain Eomma disini, yang ada hanya kue tart dua tingkat dengan hiasan
berbentuk hati. Aku mendongak, ada sekitar lima puluh balon melayang-layang di
langit-langit butik. Poster besar terpasang apik dihadapanku, bertuliskan
‘Happy Birthday Deer-Yoong!’. Lampu-lampu yang menyala terhias bagus,
menampilkan kesan romantis.
Airmataku mengalir deras. Aku mengatupkan mulutku dan
menunduk. Jadi selama ini mereka sengaja meninggalkan aku dirumah sendirian
demi semua ini? Oh, Tuhan, bolehkah aku menjerit bahagia?
“Ya! Rusa, kenapa kau menangis begitu, huh? Kau tampak jelek
ketika menangis, tahu. Hahahaha.” tanya Kyuhyun Oppa yang sedetik kemudian
dijitak Yuri Eonnie dan Sooyoung bersamaan.
“Bodoh, tentu saja ia terharu. Yoona-ya, kemarilah!” seru
Yuri Eonnie.
Aku diam, kakiku tak merespon untuk mendekat sampai aku
merasakan tangan kekar dari belakangku menggendongku ala bridal ke arah sofa
yang sengaja ditaruh di tengah-tengah antara orang-orang terbaikku ini.
“Aduh, baru saja bertemu sudah mengumbar kemesraan.” sungut
Donghwa Oppa diikuti kuluman senyumyang menggoda kami berdua. Pipiku bersemu
merah, aku menenggelamkan wajahku di dada Donghae Oppa.
Donghae Oppa tersenyum kecil, kemudian ia menurunkan aku di
sofa. Aku duduk dilingkari banyak orang. Ya, semua orang yang berarti dalam
hidupku.
“Baiklah, sekarang kau berdoalah lalu tiup lilinnya, Yoona!
Setelah itu kita makan kue~” seru Sooyoung paling semangat.
“Ish, aku tahu kau hanya menginginkan kuenya, Sooyoungie.”
keluh Changmin Oppa diiringi jitakan Sooyoung di kepala Changmin Oppa. Aku
terkikik pelan, mereka ini selalu saja begitu.
Aku pun menundukkan kepalaku dan berdoa. Tuhan, apabila Donghae Oppa dan aku
ditakdirkan bersama, tolong jangan pisahkan kami. Terimakasih telah
memberikanku kehidupan yang layak, terimakasih atas segala keindahan hidupku.
Terimakasih Engkau telah menghadirkan berbagai orang yang menyayangiku dan
selalu berada disekitarku. Tuhan, jagalah aku dan Donghae Oppa.
Setelah selesai berdoa, aku meniup lilin dan segera memotong
kue. Kue pertama, tentu saja kuberikan pada Eomma dan Appa-ku. Lalu aku berikan
pada Eonnie-ku. Tiba saatnya aku memberikan kue pada Donghae Oppa, aku
mendengar teriakan Seohyun yang bahagia.
“Suapi Yoona Eonnie dong, Oppa! Kalian kan tidak bertemu
dalam waktu seminggu, terlebih sikapmu yang dingin pada Yoona Eonnie. Ayo,
dong!”
Wajahku memanas, lagi. Aish, hari ini memalukan sekali!
“Anio, tak usah.”
ujarku pelan, berusaha menundukkan kepalaku.
“Suapi, suapi, suapi!” koor mereka semua. Oke, kuulang. S–E–M–U–A.
Donghae Oppa terkekeh, ia menampilkan senyum lebarnya yang
kusukai. Tapi tetap saja Donghae Oppa mengambil sendok dan memotong kue dengan
ukuran kecil, seperti perintah Seohyun. Ia menyodorkanku sendok itu sembari
mengerlingkan matanya. Terpaksa aku memakan kue itu, meski dalam hati aku
sangat senang.
“CIEEE.” koor ketiga pasang orang bodoh yang seringkali
membuatku tersenyum itu. Ugh, mereka ini.
“Ah, sudah sudah. Mari kita bersenang-senang! Im Yoona,
anakku, saengil chukkahamnida.” ucap
Eomma sembari mengecup keningku bersamaan dengan Appa. Aku memeluk mereka yang
mengapitku. Pandanganku beralih pada kakakku tercinta yang tengah menatapku
dengan gembira. Senyum eye-smile-nya
yang khas, membuatku gemas saja.
“Aish, adikku sudah begitu besar rupanya. Lihatlah dirimu, neomu yeoppo.” pujinya.
Aku meringis, lalu memeluknya erat. Sudah lama aku tak
bertemu dengannya.
“Terimakasih, Eonnie. Gomawo,
sudah ikut membantu menyiapkan semua ini.” ucapku menahan tangis yang akan
keluar lagi.
“Hm? Katakan terimakasih padanya. Berkat ia selama dua
minggu ini, acara kejutan ulang tahunmu bisa terlaksanakan. Berkat bantuan
keenam teman baikmu pula hal ini bisa sesukses ini. Dan juga...
Berterimakasihlah pada orangtua Donghae juga Eomma dan Appa, berkatnya kita
bisa dengan mudah membeli segala peralatan ini. ” tunjuknya dengan dagu.
Aku menoleh ke arah Donghae Oppa yang berada ditengah-tengah
antara Donghwa Oppa dan kedua orangtuanya menatapku dengan senyum ramah dan
bahagia. Ada juga ketiga pasang kekasih yang saling memeluk pinggang satu sama
lain tersebut cengengesan menatapku. Senyumanku melebar, bolamataku tampak
berkaca-kaca. Ah, lagi-lagi aku terlihat lemah dihadapan orang-orang yang
menyayangiku.
“GOMAWO CHINGUDEUL,
EOMMA APPA, EOMMONIM HARABHEOJI, DONGHWA OPPA
DAN...D–DAN.. DONGHAE
OPPA.” teriakku membuat mereka sontak kaget, tetapi sedetik kemudian mereka
tertawa. Aku pun tertawa dengan airmata mengalir. Ulang tahunku yang ke 18 ini,
benar-benar akan kuingat. Terlebih ketika Donghae Oppa menghampiriku, merogoh
kantung celana kainnya.
Mengeluarkan kotak kecil dan membukanya. Cincin kembar.
Kemudian ia mengucapkan satu kalimat yang membuatku langsung
membeku haru.
“Saranghae, Im Yoona.
Will you marry me?”
EPILOG
Malam ini merupakan malam terindah dalam hidupku. Setelah semalam
Donghae Oppa memberikan aku kejutan dan melamarku, ternyata pagi harinya aku
diboyong menuju gereja yang sudah sangat tertata rapi. Aku sempat shock ketika tahu aku akan menikah hari
ini juga. Ketika aku ulangtahun. Astaga, bukankah aku orang yang sangat
beruntung? Masa remajaku begitu berarti.
“Memikirkan apa, yeobo-ya?”
panggil Donghae Oppa seraya memeluk pinggangku. Ia meletakkan dagunya di
bahuku. Menatapku dari samping.
Yap, sekarang Donghae Oppa resmi menjadi nampyeon-ku. Tadi pagi, kami
mengumandangkan janji suci yang mengikat kami. Dan tadi pagi pula aku
mendapatkan first kiss-ku dihadapan
orangtuaku dan Donghae Oppa, ketiga pasang kekasih yang merupakan sahabat
baikku, dan para hadirin. Memikirkan hal tadi pagi saja, membuatku tersenyum
sendiri. Tepatnya, tersenyum malu.
“Tidak. Aku hanya merasa beruntung dipertemukan Tuhan
padamu. Aku merasa beruntung memiliki banyak orang yang menyayangiku
disekitarku berada. Dan... Aku merasa beruntung bisa mendapatkan keajaiban dari
Tuhan.”
“Aku juga merasa beruntung dipertemukan denganmu. Bisa
mendapatkan makna dan juga cinta darimu.” ucapnya sembari mengecup telingaku. Tangannya
mengelus pinggang rampingku pelan, merambat ke rambutku, menyisir helai demi
helai rambutku. Aku mendesis pelan.
“E–ehm. Donghae Oppa, kau tahu, aku sangat senang begitu
tahu kau melamarku semalam, lalu kita melaksanakan pernikahan tadi pagi. Semua
itu seperti mimpi di negeri peri. Aku melihat banyak orang yang menyayangiku
ketika pernikahan kita tadi, mereka sumringah sekali. Y–yakan?” ucapku terbata
karena bibir lembab Donghae Oppa sudah menjalar ke leherku. Mengecupnya lembut
penuh hasrat cinta.
“Aku tahu, Yoong, aku tahu.” lenguh Donghae Oppa karena
bibirnya masih mengecup leherku. Sekarang malah ia menghisap-hisapnya,
membuatku semakin gemetaran. Kakiku lemas kalau saja ia tak memelukku, menahan
beban agar aku tak terjatuh. Aku tak tahu sudah siap atau belum, aigooo. Donghae Oppa, kau ini kenapa.
“O–oppa. J–jangan d–disini.” ucapku terengah-engah. Aku
memejamkan mataku, mencengkram erat lengan kekar Donghae Oppa yang memelukku
mesra dari arah belakang dengan bibir tetap merayap di leher jenjangku. Aku
menjenjangkan leherku, memberi akses mudah untuk Donghae Oppa agar mudah
melakukan aktivitasnya.
“Hm? Kau mau dikamar saja? Oke, kalau begitu.. Aku akan
membantumu mendapatkan satu lagi orang yang menyayangimu, yeobo-ya.” desah Donghae Oppa tepat di telinga kiriku, mengecup
bibirku kilat. Ia menyeringai setan ala Kyuhyun Oppa. Yah ampun.
Belum sempat aku menyuarakan protesku, ia sudah
menggendongku ke dalam kamar. Aku mengalungkan lenganku di lehernya kencang,
takut jatuh. Setelah sampai diranjang, Donghae Oppa menindihku pelan, ia
tersenyum menatap aku yang gelisah sendiri.
Bulu kudukku merinding kala ia mendesah di telingaku dengan
mesra, membuatku terkulai pasrah didekapnya, namja-ku. Aku memasrahkan ‘mahkota’-ku untuknya, malam ini.
“Let’s make a baby,
yeobo.”
END
Naaah, selesai. Fiuh,
akhirnya aku bisa nyelesaikan FF ini. Oh iya, terimakasih untuk admin sudah mau
mempublish karyaku ini. Dan juga maaf kalau konfliknya gak berat, aku lagi
butuh waktu biar bisa lanjutin FF kkk~
Gimana? Semoga kalian
suka dan dengan cerita ini dan juga RCL yup, so aku jadi bisa tahu harus
introspeksi seperti apa dalam penulisan FF/cerita lainnya.
Sequel....or not?
Btw, ini nggak NC
kok, lagipula author dibantu Eonnie author^^.... /author stress/
Gamsahamnida^^